JAKARTA, Nenemonews — Dewan Pers mengapresiasi road map yang dikembangkan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) untuk memantau perkembangan anggota organisasi perusahaan pers itu. Di dalam road map tersebut, JMSI membagi anggota ke dalam empat cluster yang ditandai dengan jumlah bintang.
Bintang satu diberikan untuk anggota JMSI yang baru sekadar memiliki badan hukum seperti yang disyaratkan dalam UU 40/1999. Lalu bintang dua untuk anggota JMSI yang telah mengikuti proses pendataan di Dewan Pers. Bintang tiga untuk anggota JMSI yang telah terverifikasi secara administrasi oleh Dewan Pers. Terakhir bintang empat, untuk anggota JMSI yang telah terverifikasi secara faktual oleh Dewan Pers.
Road map tersebut dipresentasikan Ketua Umum JMSI Teguh Santosa ketika mengikuti Focus Group Discussion (FGD) yang membahas “pedoman penegakan dan perlindungan pers profesional” yang diselenggarakan Dewan Pers di Hotel Margo, Margonda, Depok, Jawa Barat, Jumat (10/3).
Ketika menjelaskan road map tersebut, Teguh membuka halaman anggota.mediasiber.id yang berisi daftar anggota JMSI yang memuat informasi dasar anggota, seperti nama media, nama badan hukum, nama domain, nama penanggung jawab, dan alamat.
Dengan road map ini, ujar Teguh, pengurus JMSI di semua tingkatan mengetahui dengan pasti “beban kerja” dalam membangun ekosistem pers yang sehat dan profesional.
Teguh menambahkan, dalam peringatan HUT ke-3 JMSI di Medan, Sumatera Utara, bulan Februari lalu, pihaknya juga telah meluncurkan program sertifikasi anggota. Di dalam sertifikat, setiap anggota JMSI mendapatkan QR Code yang harus dimuat di halaman muka (home) media pada posisi yang mudah dilihat oleh pembaca.
Bila dipindai, QR Code ini akan menampilkan informasi mengenai perusahaan pers anggota JMSI, termasuk “jumlah bintang” yang dimilikinya.
QR Code ini, katanya lagi, juga berfungsi untuk menutup penumpang gelap yang mengaku-aku sebagai anggota JMSI.
Di sisi lain, Teguh mengatakan, membantu anggota JMSI menjadi perusahaan pers profesional baru merupakan sebagian dari pekerjaan mewujudkan ekosistem pers profesional. Selain perusahaan pers profesional juga dibutuhkan pekerja pers yang profesional, yakni wartawan menghormati kode etik jurnalistik dan aturan-aturan lainnya.
Adapun karya pers profesional, kata Teguh lagi, adalah resultan dari hasil persenyawaan perusahaan pers profesional dan pekerja pers profesional.
“UU 40/1999 tentang Pers untuk melindungi kemerdekaan pers dari kemungkinan abuse of power penguasa. Sementara Kode Etik Jurnalistik untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan abuse of power perusahaan pers. Keduanya harus sama-sama diperhatikan,” tegas Teguh.
Apresiasi terhadap road map JMSI ini disampaikan Anggota Dewan Pers Asep Setiawan dan peserta FGD lainnya baik dari unsur konstituen maupun tenaga ahli dan staf Dewan Pers.
Menurut Asep Setiawan, road map ini dapat dijadikan model bagi organisasi perusahaan pers konstituen Dewan Pers lainnya, tentu dengan melakukan modifikasi yang khas.
Apresiasi juga disampaikan mantan anggota Dewan Pers dan mantan Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Hendry Ch. Bangun yang hadir sebagai pemateri dalam FGD itu. Katanya, dari road map ini terlihat JMSI dengan serius memikirkan dan melakukan pembinaan anggota menuju ekosistem pers yang sehat dan profesional.
Mewujudkan dan Melindungi Pers Profesional
FGD yang dihadiri unsur konstituen Dewan Pers dan tenaga ahli Dewan Pers khususnya bidang pengaduan dan bidang hukum dibuka oleh Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. Sebagai pemateri atau pembicara dalam FGD itu, Dewan Pers mengundang dua wartawan senior, yakni Uni Zulfiani Lubis dan Hendry Ch. Bangun. Keduanya pernah menjadi anggota Dewan Pers.
Draft dokumen yang dibahas dalam FGD tersebut sebetulnya belum memiliki nama resmi. Namun secara informal disebutkan bahwa dokumen tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bersama yang digunakan masyarakat pers nasional dalam membangun ekosistem pers profesional, dan di saat bersamaan menghindarkan perusahaan pers dan pekerja pers terjebak dalam praktik yang biasa disebut “abal-abal” atau jauh dan bahkan menyimpang dari standar pers profesional.
Dalam pemaparannya, baik Uni Lubis maupun Hendry Ch. Bangun merujuk pada peraturan yang sudah ada, baik UU 40/1999 tentang Pers, maupun Peraturan Dewan Pers No. 3/2019 tentang Standar Perusahaan Pers, serta Kode Etik Jurnalistik.
Uni Lubis mengutip defisini “pers”, “perusahaan pers”, “kantor berita”, dan “wartawan” yang ada di dalam UU 40/1999.
Di dalam UU itu disebutkan bahwa “pers” adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Sementara “perusahaan pers” adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Adapun “kantor berita” adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi. Lalu “wartawan” adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Sementara Hendry Ch. Bangun, mengutip aturan di dalam UU 40/1999 mengatakan bahwa ada sejumlah hal yang sudah dipatok, seperti perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.
Lalu, berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Perusahaan pers juga diwajibkan mencantumkan nama penanggungjawab dan alamat/nomor kontak, menaati Kode Etik Jurnalistik termasuk melayani hak jawab dan hak koreksi, serta memberi kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan.
Hendry Ch. Bangun juga mengutip Peraturan Dewan Pers No. 3/2019 tentang Standar Perusahaan Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers harus memiliki badan hukum berbentuk PT atau bentuk lain yang ditetapkan UU, dan disahkan Kementerian Hukum dan HAM.
Perusahaan pers harus memberikan upah 13 kali per tahun setara Upah Minimum Provinsi, memberikan asuransi ketenagakerjaan dan asuransi kesehatan bagi karyawan, memberikan perlindungan hukum, memiliki peraturan perusahaan yang mengatur peningkatan kompetensi, dan membedakan secara jelas bidang redaksi dan bisnis.
Juga perlu digarisbawahi bahwa penanggung jawab redaksi harus seorang wartawan yang memiliki jenjang Kompetensi Wartawan Utama.
Pada bagian kedua FGD tersebut, para peserta mulai menyusun draft dokumen untuk dibahas dalam pertemuan berikutnya. Juga disepakati pembentukan kelompok kerja yang bertugas menyempurnakan draft tersebut. [JMSI]