Bandar Lampung, Nenemonews – Universitas Lampung saat ini telah berlangsung tahapan pelaksanaan
pemilihan Rektor, penjaringan Rektor baru berawal dari tertangkapnya Rektor
Unila Karomani bersama-sama dengan petinggi kampus lainnya yang
telah dijadikan tersangka tindak pidana korupsi oleh KPK RI.
“Semua pihak diharapkan agar dapat menjaga kondusifitas kampus Unila dalam
pemilihan Rektor tersebut dengan tidak mencampur adukan isu penegakan
hukum korupsi yang sedang ditangani KPK,” ujar Ketua Lampung
Corruption Watch Juendi Leksa Utama saat memberikan keterangan
persnya, Senin (19/12) siang.
Menurutnya, publik harus diberikan edukasi terkait dengan pendidikan hukum yang
baik berkaitan dengan penegakan hukum pidana.
Dalam hukum dikenal
dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang
dilekatkan pada status tersangka atau terdakwa.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Setiap orang yang disangka,ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Dalam proses perkara pidana, asas praduga tidak bersalah diartikan sebagai
ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan
wajib dianggap tidak bersalah,” tuturnya.
Sehingga harus dihormati hak-haknya
sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya. Apalagi warga negara yang masih berstatus saksi.
Sebaiknya kita menyerahkan sepenuhnya penetapan status tersangka
kepada KPK yang memiliki otoritas untuk menetapkan pelaku lainnya. Dan
apabila, semua pihak memiliki alat bukti untuk membantu KPK dalam
mengungkap perkara, sebaiknya alat bukti itu diserahkan kepada penyidik
KPK agar tidak berpotensi mencemarkan nama baik seseorang.
“Boleh saja kita minta KPK untuk menetapkan tersangka lain, tetapi tidak
boleh menyebut nama seseorang sehingga dihakimi publik tanpa melalui
proses pembuktian dan putusan persidangan,” ucap alumni fakultas hukum
Unila ini.
Dia menambahkan berdasarkan undang-undang perlindungan saksi dan
korban, saksi dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik
pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan,
sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut
diberikan tidak dengan iktikad baik.
“Jika terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi dan/ atau Pelapor atas
kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan,
tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau
ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh
kekuatan hukum tetap,” jelas pengacara anti korupsi ini.
Hal itu, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan
Politik yaitu hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta
mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan
publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua orang di depan
hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi (Pasal 26).
Dalam penjelasannya, Negara Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945), seperti
yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara hukum.
Hal ini mempunyai arti bahwa negara Republik Indonesia adalah negara
demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin
segala hak warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan itu tanpa ada kecualinya.
Penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam sebuah negara hukum
merupakan suatu hal yang sangat esensial. Di Indonesia penghargaan
terhadap hak asasi manusia di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada
Pasal 28D angka (1) yang berbunyi : Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
hak asasi manusia juga mengatur mengenai penghargaan terhadap hak asasi
manusia yaitu “bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, oleh
karena itu berhak memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama
sesuai dengan martabat kemanusiaan di depan hukum.
Untuk itu, tidak ada satupun ketentuan yang boleh menghilangkan dan/atau
membatasi hak warga negara dalam menggunakan hak-nya, sesuai dengan
prinsip hukum Justitia est ius suum cuique tribuere (keadilan diberikan
kepada tiap orang apa yang menjadi haknya), termasuk hak mencalonkan
diri menjadi Rektor UNILA kecuali melalui putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (dan/atau berdasarkan undang-undang.
Sebagai catatan khusus, LCW memberikan rekomendasi beberapa hal
sebagai berikut:
1. Mendorong KPK untuk segera melimpahkan berkas perkara tersangka
lainnya ke pengadilan;
2. Meminta Majelis Hakim membuat penetapan untuk memanggil namanama diluar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang terungkap dalam
persidangan untuk dimintai keterangannya dalam persidangan, 3. Meminta semua para pihak agar menghormati dan menghargai hak
warga negara untuk mencalonkan diri memilih dan dipilih sebagai
rektor UNILA, 4. Menyarankan kepada semua pihak untuk tidak mendahului otoritas
KPK dalam menetapkan status tersangka kepada seseorang, 5. Tidak menggunakan isu penegakan hukum korupsi sebagai alat
kepentingan tertentu, 6. Tetap menjaga kondusifitas kampus Unila terkait dengan pemilihan
rektor Unila periode 2023-2027.
(Edz)